Jumat, 15 Juli 2011

MEDITASI MENGENAL DIRI (MMD)

Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 24 Desember 2008

HANYA MENYADARI SAJA, TIDAK MEMADAMKAN


Dr. Hudoyo, pembimbing meditasi,
Para Ibu, Bapak, Saudara peserta meditasi pada akhir tahun 2008 ini,
Sebagai Kepala Vihara Mendut, saya mengucapkan selamat datang kepada para peserta. Bagi para peserta yang sudah beberapa kali mengikuti meditasi di vihara ini, tentu ini selamat datang untuk yang kesekian kalinya. Bagi Ibu, Bapak & Saudara yang baru pertama kali mengikuti meditasi ini, tentu selamat datang yang pertama bagi Ibu, Bapak, Saudara. Selamat datang di Vihara Mendut untuk mengenal meditasi dan sekaligus melatih meditasi.
Para Ibu, Bapak, Saudara,
Semua orang tentu menginginkan hidup bahagia. Kebahagiaan menjadi obsesi, menjadi tujuan hampir semua orang, apa pun agama, kepercayaan, tradisi, atau adat-istiadat mereka. Kemudian, tiap-tiap orang berusaha untuk membuat rincian, meskipun mungkin tidak mendetail, gambaran tentang apakah bahagia yang mereka inginkan? Seperti apakah kebahagiaan itu?
Ibu, Bapak & Saudara,
Cita-cita atau harapan kebahagiaan itu kemudian diusahakan untuk dicapainya. Lalu, harapan atau keinginan untuk bahagia itu menumbuhkan keinginan-keinginan lain yang sangat banyak. Mengapa keinginan-keinginan lain tumbuh sangat banyak? Keinginan-keinginan itu tumbuh seiring dengan tumbuhnya segala usaha yang dilakukan untuk mencapai hidup bahagia.
Apa yang menjadi fenomena, apa yang menjadi gejala kemudian? Sesungguhnya, yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan. Mengapa? Karena keinginan atau harapan untuk bahagia itu justru membuahkan penderitaan. Harapan menimbulkan kegelisahan, harapan menimbulkan kekhawatiran, harapan membuat seseorang, kita semua, waswas, dan kalau tidak terpenuhi, kecewa.
“Tetapi, Bhante,” ada yang menanyakan, “kalau keinginan atau harapan itu terpenuhi, bukankah kita bahagia?”—Ya, kita bahagia sebentar, karena tidak ada bahagia yang abadi. Dan kalau bahagia sebentar itu lenyap, maka timbullah ketagihan, kecanduan, keinginan yang lebih berkobar-kobar.
Sesungguhnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan yang benar, dan “kebahagiaan” ini harus ditulis dengan tanda petik, tidak dicapai dengan keinginan. Kebahagiaan yang benar justru akan tumbuh—begitulah bahasa yang boleh kita pakai—kalau keinginan dikurangi. Bukan dengan menambah keinginan lalu tercapai, itulah kebahagiaan. Bukan! Tetapi dengan berkurangnya keinginan, lenyapnya keinginan, justru itulah kebahagiaan yang benar.
“Apakah mungkin, Bhante, melenyapkan keinginan, membuang keinginan selama kita hidup di masyarakat, baik sebagai bhikkhu, rohaniwan ataupun sebagai perumah tangga?”—Memang sulit, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita hanya selektif, menyeleksi keinginan. Mengapa? Karena kalau keinginan bertambah, maka masalah pun bertambah. Kalau masalah bertambah, penderitaan juga bertambah. Ini bukan dalil agama, Ibu, Bapak & Saudara, ini adalah hukum alam. Kalau Ibu, Bapak & Saudara menambah keinginan, menambah harapan, maka waswas bertambah, gelisah bertambah, kekhawatiran bertambah, kekecewaan bertambah, penderitaan bertambah. Tetapi kalau keinginan dikurangi, maka masalah juga akan berkurang. Kalau masalah berkurang, ketegangan juga berkurang. kekhawatiran berkurang, penderitaan berkurang.
Tetapi, Ibu, Bapak & Saudara, selama Ibu, Bapak & Saudara tujuh hari mengikuti meditasi di vihara ini—meditasi yang kita kenal dengan nama Meditasi Mengenal Diri, atau boleh juga disebut meditasi Vipassana, atau hanya meditasi saja, karena nama tidaklah penting—Ibu, Bapak & Saudara bisa berlatih dan mengalami, untuk membuang hampir semua keinginan. Tidak perlu memikirkan besok masak apa, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dikerjakan, karena semua sudah disiapkan oleh vihara ini, sederhana sudah tentu, sesuai dengan kemampuan kami, untuk membantu agar Ibu, Bapak & Saudara mempunyai latihan dan mengalami kondisi atau dimensi membuang keinginan secara maksimal. Tentu masih ada keinginan, tetapi keinginan itu keinginan yang fungsional, seperti ingin ke belakang, ingin melangkahkan kaki, makan pagi sebagai kebutuhan untuk kelangsungan fisik kehidupan ini, makan siang, berbaring—keinginan-keinginan fungsional yang sangat terbatas. Keinginan yang lain ditiadakan.
Tetapi apakah mudah? Tidak. Meskipun Ibu, Bapak & Saudara, dan kita sudah bersepakat, bahwa selama tujuh hari ini kita tidak ingin mempunyai keinginan apa-apa; keinginan yang ada hanya sesedikit mungkin, keinginan-keinginan fungsional sehari-hari. Meskipun sudah disepakati seperti itu, keinginan itu tetap muncul saja, mengganggu pemikiran kita. Bahkan mungkin semakin hebat, semakin hebat; apalagi bagi Ibu, Bapak & Saudara yang belum pernah melatih meditasi, dan kali ini adalah kali yang pertama, dengan waktu yang cukup panjang, tidak hanya Jumat, Sabtu, Minggu, melainkan satu minggu.
Lalu, bagaimana cara kita untuk membuang keinginan itu? Cara membuang keinginan bukan dengan sederhana berucap, “Aku tidak ingin punya keinginan.” Dalam bahasa kasar, “Lho, mengapa masih muncul saja keinginan? Bukankah aku sudah sepakat untuk tidak mau punya keinginan?”—Biar, Ibu, Bapak & Saudara, biar. Tidak usah marah, tidak usah merasa tidak berhasil. Tidak usah menyalahkan diri sendiri, mengapa keinginanku masih saja berkobar-kobar, tidak bisa dibuang; dikurangi saja tidak bisa. Tidak usah marah, tidak usah menyalahkan diri sendiri, tidak usah kecewa. Keinginan yang muncul itu juga tidak usah dipadamkan. Dalam bahasa sehari-hari, “Lho, mengapa tidak dipadamkan? Tadi di depan dijelaskan, keinginan harus dikurangi, dibuang sampai maksimal. Sekarang kalau keinginan muncul mengapa tidak boleh dipadamkan?”—Kalau Ibu, Bapak & Saudara berusaha untuk memadamkan keinginan itu, maka ributlah pikiran ini. Keinginan yang muncul dilawan dengan keinginan untuk tidak mau punya keinginan. Maka keinginan perang melawan keinginan. Pusinglah, ramailah pikiran kita.
Meditasi hanya mengamat-amati saja, menyadari kalau keinginan muncul, keinginan ini keinginan itu, ingatan ini ingatan itu, mau seperti ini mau seperti itu. Tugas kita bermeditasi hanya menyadari saja; tidak memadamkan, tidak menggempur, tidak menganalisis dari mana datangnya, tidak merentang-rentang apakah ini wahyu, apakah ini vision, tidak. Kita hanya menyadari saja, menyadari dengan pasif, menyadari dengan pasif. Nanti keinginan-keinginan itu padam sendiri. Padam bukan dengan keinginan untuk dipadamkan, hanya disadari, disadari, disadari saja.
Itulah secara garis besar latihan Ibu, Bapak & Saudara selama seminggu ini. Tidak perlu doa, tidak perlu meminta-minta, tidak perlu mengharap berkah dari siapa pun, tidak ada ritual-ritual, upacara-upacara yang harus ditaati. Tetapi sadarilah pikiran, perasaan, jasmani; jasmani, perasaan, pikiran. Guru-guru meditasi sering menjelaskan, mukjizat itu bukannya kalau kita bisa terbang, mukjizat itu bukannya kalau kita bisa melihat makhluk-makhluk halus, mukjizat itu bukan pula pada saat kita duduk bermeditasi mengalami yang aneh-aneh; tetapi mukjizat itu pada waktu kita berjalan kita menyadari langkah kaki kita yang menempel di bumi ini; itulah mukjizat, kalau hal itu boleh disebut mukjizat. Mukjizat bukannya mampu membaca pikiran orang, melihat makhluk halus, pergi ke alam lain, melainkan mampu menyadari timbulnya pikiran sendiri apa pun juga, mampu menyadari timbulnya perasaan sendiri apa pun juga.
Oleh karena itu, di dalam meditasi ini semua menjadi objek: pikiran yang disebut baik, tidak baik, pikiran bagus, pikiran luhur, pikiran bersalah, pikiran jorok, ingatan masa lalu, kenangan yang pahit, kenangan yang manis, khayalan, rencana segala macam, semuanya mempunyai fungsi yang sama: diperhatikan. Pikiran yang baik juga diperhatikan, pikiran yang buruk juga diperhatikan.
Dan tidak usah dinilai: ini baik, ini buruk. Perasaan senang yang timbul juga diperhatikan, perasaan tidak senang yang timbul juga diperhatikan; perasaan sedih diperhatikan, perasaan gembira juga diperhatikan, tidak dicegah, tidak dibesar-besarkan. Dan tidak usah diberi nama: “O, ini senang; o, ini tidak senang.” Untuk menjelaskan, memang, saya menggunakan kalimat: “Perasaan senang diperhatikan, perasaan tidak senang diperhatikan.” Tetapi di dalam praktik, sadari saja. Tidak usah diberi label, diberi nama: “O, ini senang, ini tidak senang.” Karena kalau kita memberikan nama, nanti kekuatan senang menjadi lebih besar, kekuatan tidak senang menjadi lebih besar. Kita lebih serakah pada yang menyenangkan, kita lebih benci pada yang tidak menyenangkan, karena konsep senang dan tidak senang dipertajam dalam meditasi dengan memberikan label, “O, ini senang, ini tidak senang.”
Jadi, kalau ada perasaan yang mengganggu, disadari saja, “O, perasaan begini,” sudah cukup. “O, pikiran muncul; o, pikiran muncul,” cukup. Di dalam penjelasan-penjelasan bahkan dikatakan, dalam meditasi yang sering dikenal dengan sebutan vipassana ini, pada tingkat-tingkat tertentu di dalam teori dikatakan akan timbullah yang disebut nyana, pengetahuan bukan dari hasil pemikiran intelektual, bukan dari hasil berfikir, tetapi hasil meditasi. Pengetahuan hasil meditasi itu pun juga kotoran batin yang halus, vipassana-upakilesa. Jadi, apa fungsi kita? Fungsi kita hanya menyadari saja, menyadari, pasif, menyadari, pasif. Tidak menjadi kebanggaan, tidak menjadikannya sesuatu yang sangat luar biasa. karena kalau dikelompokkan pengetahuan yang muncul dari meditasi itu juga kelompok kotoran batin yang halus. Jadi diperhatikan saja.
Dengan memperhatikan, memperhatikan, memperhatikan, maka keinginan itu akan padam, padam, padam. Padamnya keinginan itulah lenyapnya penderitaan. Istilah ‘lenyapnya penderitaan’ lebih tepat kalau ingin digunakan, daripada menggunakan “kebahagiaan”. Lenyapnya penderitaan itulah “kebahagiaan yang benar” dalam tanda petik. Daripada menggunakan istilah “kebahagiaan”, ‘lenyapnya penderitaan’ menjadi kalimat yang lebih tepat untuk menamakan padamnya keinginan.
Ibu, Bapak & Saudara,
Gunakanlah waktu tujuh hari ini untuk mengamati jasmani, langkah kaki, nafas, perasaan yang timbul, pikiran, termasuk ingatan, kenangan. Tidak usah tegang, tetapi tidak malas. Dalam bahasa Jawa dikatakan jangan ndlenger. Dalam bahasa gaul, banyak anak-anak muda yang ikut meditasi, mereka mempunyai istilah, “O, kalau kita ingin ikut vipassana, ingin ikut MMD ini, harus ‘sersan’,” katanya. Apa itu ‘sersan’? Serius tapi santai. Kalau serius saja, maka nanti keinginan akan muncul, keinginan “Saya ingin bermeditasi sungguh-sungguh, saya ingin membuang keinginan sungguh-sungguh,” apalagi kalau, “Saya ingin mendapatkan pengalaman yang aneh-aneh.” Serius. Ya, keinginan justru berkembang, bertambah, bukan berkurang. Tetapi kalau santai, tidak menghadirkan kesadaran, santai saja, banyak tidur—kalau nanti tidur di ruang tidur tidak enak, ya duduk di tempat meditasi tetapi tidur—ya, itu terlalu santai. Meditasi menghadirkan kesadaran dengan wajar; menghadirkan kesadaran itu yang oleh anak-anak muda di katakan serius, tetapi wajar, wajar itulah santai. Serius tapi santai, santai tapi kesadaran harus hadir.
Ibu, Bapak & Saudara,
Semogalah selama tujuh hari, Dr. Hudoyo akan mendampingi, memberikan bimbingan, Ibu, Bapak & Saudara akan mendapatkan kemajuan. Kalau saya menyebutkan ‘kemajuan’ di sini, kemajuan itu adalah mampu melihat pikiran, mampu melihat perasaan, mampu melihat gerak-gerik jasmani; melihat dengan kesadaran. Paling tidak kita mengalami berkurangnya keinginan. Pada saat keinginan berkurang, pada saat itulah mulai bebas dari penderitaan.
Dan nanti setelah selesai meditasi ini, Ibu, Bapak & Saudara pulang ke rumah, Ibu, Bapak & Saudara bisa menggunakan pengalaman selama tujuh hari ini untuk menghadirkan kesadaran dalam keseharian. Karena tidak ada gunanya mengikuti retret kalau kesadaran dalam keseharian tidak dihadirkan.
Apalagi di antara saudara-saudara kita ada yang bangga,  “O, saya sudah ikut retret sepuluh kali, Anda baru berapa kali, baru dua kali?”—Tidak menjadi ukuran, sepuluh kali atau dua puluh kali ikut retret, tidak menjadi ukuran sejauh mana penderitaan berkurang, kebebasan bisa dialami. Tetapi menghadirkan kesadaran itulah yang penting, di vihara ini maupun dalam kehidupan Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari.
Semogalah latihan ini bermanfaat. Terima kasih.
*****
Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 1 Januari 2009
KESADARAN ITU MEMBEBASKAN
Hari ini adalah akhir latihan meditasi yang Ibu, Bapak & Saudara ikuti di Vihara Mendut dengan bimbingan Dr. Hudoyo. Banyak orang sering mempunyai anggapan bahwa penderitaan dan kebahagiaan itu berada di luar diri kita. Kemudian kita berusaha keras untuk mencari kebahagiaan, sehingga mengalaminya. Dalam hal penderitaan, banyak orang menganggap bahwa  penderitaan yang berasal dari luar itu masuk menghantam diri kita dan membuat kita menderita.
Sebetulnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan dan penderitaan itu tidak berada di luar diri kita. Kalau kita mencari di luar, memilah-milah, melihat di segala sudut di luar diri kita, kita tidak akan menemukan kebahagiaan atau penderitaan. Di manakah sesungguhnya penderitaan dan kebahagiaan itu berada? Penderitaan dan kebahagiaan itu kita alami di dalam diri kita ini; maka penderitaan dan kebahagiaan itu sebetulnya tepat, persis, berada di dalam diri kita sendiri. Bukan dicari di luar dan juga tidak datang dari luar lalu masuk ke dalam diri kita.
Penderitaan terjadi, kebahagiaan dialami, tidak lain karena pikiran kita memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu. Kalau pikiran itu menanggapi dan memberikan reaksi terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, timbullah rasa tidak senang, timbullah penderitaan, ketegangan, dan sebagainya. Di mana hal itu dirasakan? Tidak di luar, tetapi di dalam diri ini. Kalau pikiran memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu yang ditangkap oleh pancaindera maupun terhadap kenangan atau ingatnan-iangatan pikiran itu sendiri—kalau reaksi atau tanggapan itu—sesuai dengan selera kita, berarti menyenangkan, maka timbullah yang disebut bahagia, rasa nyaman, puas.
Tetapi, apakah yang sering kita alami dan kita namakan kebahagiaan itu kekal? Sama sekali tidak; sebentar kesenangan atau kebahagiaan itu lenyap. Demikian juga penderitaan. Kalau kita mengamat-amati—dengan kalimat lain, kalau kita menyadari—saat penderitaan muncul atau saat kebahagiaan muncul, menyadari saja, maka padamlah penderitaan itu, padam. Dan padamlah juga kebahagiaan yang hanya sebentar itu, padam. Pada saat penderitaan padam, pada saat kebahagiaan atau kesenangan padam, timbullah rasa bahagia yang lebih halus, atau ada yang menjelaskan dengan kalimat: timbullah kesunyian yang mendalam. Kebahagiaan yang lebih halus atau kesunyian yang mendalam timbul karena kesadaran memperhatikan penderitaan atau kebahagiaan, kemudian fenomena mental itu lenyap, berganti dengan kebahagiaan yang mendalam, berganti dengan kesunyian yang mendalam, atau ketenangan yang lembut—demikianlah berbagai istilah digunakan. Itu pun juga tidak boleh luput dari kesadaran kita; sadari saja!
"Apakah kita tidak menikmatinya, Bhante?"—Kalau kita menikmati, maka apa yang dikatakan kebahagiaan yang halus, kesunyian yang mencekam, ketenangan yang mendalam itu akan menjadi kelengketan baru, akan menjadi ketagihan kembali. Kalau fenomena mental yang disebut mendalam atau lembut itu tidak segera disadari,  akan menyelinaplah pikiran ingin menikmati yang halus-halus itu kembali. Oleh karena itu, sadarilah.
Menjelang Tahun Baru, ada sebagian saudara kita yang mempunyai kebiasaan, beberapa menit menjelang pukul 24.00 dia merenungkan hal-hal setahun yang sudah lewat sampai menangis. Dadanya merasa sesak, air matanya bercucuran. Kemudian dia berdoa, sampai beberapa menit melewati pukul 24.00 atau pukul 00.00. Setelah itu dia merasa puas, lega. Pada suatu kesempatan menjelang Tahun Baru, orang ini tertidur, dan terbangun sudah pukul satu malam. Dia tidak sempat melakukan ritual menangis menjelang tutup tahun, juga tidak sempat berdoa sampai melewati tengah malam. Dia kecewa, dia susah, sangat tertekan, tidak bahagia. Bagaimana mengatasi hal ini?
Satu cara mungkin dia menghibur dirinya dengan mengatakan, "Ini toh bukan ajaran agamaku, menangis menjelang tutup tahun dan berdoa sampai lewat tengah malam bukan kewajiban agama. Jadi aku tidak perlu menyesal, tidak perlu bersedih.” Bisa juga diatasi dengan pandangan filosofis, "Yah, kalau malam hari ini lupa menangis dan lupa berdoa, bukan berarti kehidupan saya setahun yang akan datang ditentukan oleh tangisan dan doa awal tahun. Saya tidak menangis, tidak berdoa, tidak melakukan ritual itu, karena tertidur. Bukan berarti kehidupan saya setahun kemudian buruk.” Itu pandangan filosofis. Tetapi diatasi dengan dalil agama, diatasi dengan pandangan filosofis, dia tetap saja merasa kecewa; ada sesuatu yang mengganjal rasanya. Karena, dia melewatkan akhir tahun ini dengan tidak menangis dan tidak berdoa. Dia sulit menghilangkan kekecewaan, penderitaan, dan ganjalan itu. Mengapa? Karena kebiasaan itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun dan memberikan kenikmatan; menangis akhir tahun memberikan kenikmatan, berdoa akhir tahun juga memberikan kepuasan, dan tahun ini dia tidak melakukannya, maka menjadi penderitaan, ketegangan, ganjalan, dan sebagainya.
Sebenarnya cara yang baik untuk mengatasi hal-hal yang mengganggu pikiran dia itu adalah dengan menyadari pada saat timbul pikiran, "Aku kok tidak menangis," disadarilah. Tidak usah dilawan dengan dalil agama, tidak usah dicarikan alasan filosofis, dengan disadari, maka hal itu akan hilang sendiri. Ketegangan itu akan berhenti, ganjalan itu akan berhenti. Tetapi, nanti bisa muncul kembali karena kadar kelekatan, kelengketan itu cukup kuat, ritual itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun, dan kesempatan itu hanya terjadi sekali saja pada akhir tahun, sedangkan tahun ini dia lupa. Kalau penyesalan itu muncul kembali, kemudian diikuti dengan penderitaan, dengan ketegangan, maka sadari kembali. Dalam bahasa daerah disebut: 'eling’ kembali. Saat kita sadar, saat kita eling, itu akan berhenti. Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, pengalaman yang Ibu, Bapak & Saudara dapatkan selama Ibu, Bapak & Saudara bermeditasi secara intensif di Vihara Mendut ini. 
Perkenankan saya untuk memberikan tambahan cerita. Beberapa waktu yang lalu, beberapa kali saya diundang dalam pertemuan lintas agama yang juga dihadiri tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang datang dari Poso, dari Ambon, dari daerah yang dilanda konflik dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang hadir di Yogyakarta dari daerah-daerah konflik itu, ada keluarga atau famili mereka yang menjadi korban, meninggal dunia. Dan tidak hanya satu-dua orang. Apa yang menjadi persoalan? Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyembuhkan luka batin; mereka menggunakan istilah 'luka batin' karena kepedihan, kesedihan, penderitaan yang kemudian muncul menjadi kebencian, dendam, sulit untuk diatasi. Ajaran agama dikemukakan; di dalam pandangan Buddhis, "Terima saja. Apa yang terjadi adalah akibat dari karma, perbuatan Anda sendiri yang lampau." Saudara-saudara kiami yang lain mengatakan, "Terima saja, itu sudah takdir Tuhan." Tetapi dengan jujur mereka mengatakan, "Saya mengerti penjelasan itu, tetapi sangat sulit saya mengatasi luka batin yang menekan batin saya." Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan, "Anda dengan mudah bisa mengucapkan pandangan-pandangan yang arif, yang bijak, karena Anda tidak mengalami sendiri, bagaimana kalau suami Anda, atau anak Anda, atau orang tua Anda di bunuh. Dan ada yang tidak hanya satu, tetapi lebih dari satu anggota keluarga kita yang dibunuh. Kita masih bisa melihat, bertemu dengan pembunuh-pembunuhnya; sulit mengatasi luka batin itu.”
Pada kesempatan itu, saya pun menyampaikan kepada mereka cara kesadaran. Luka batin itu, yang memedihkan, menyedihkan, yang mungkin sangat mendalam, yang menimbulkan kebencian, dendam, cobalah tidak usah diatasi dengan bermacam-macam dalil atau alasan. Batin Anda tidak perlu dihibur dengan berbagai alasan. Karena nanti batin Anda akan menolak terus, menolak, menolak; menolak alasan atau hiburan yang datang untuk memadamkan kepedihan dan luka batin itu. Akan terjadi perdebatan yang hebat antara batin yang pedih dan terluka dengan alasan atau hiburan yang kita munculkan.  Oleh karena itu, sadari saja. Sadari kalau memori itu muncul, kalau kebencian itu muncul, sadari. Kalau keinginan untuk membalas itu muncul, sadari. Kalau rasa pedih tiba-tiba muncul tanpa alasan, sadari. Dia akan padam. Harapan saya semoga mereka bisa memahami, dan kemudian melakukan; karena tidak banyak di antara mereka yang pernah bermeditasi. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi, meskipun tidak lama, atau tidak sering mengikuti retret meditasi seperti ini, Ibu, Bapak & Saudara akan mengerti, apakah yang disebut dengan kesadaran itu, apakah yang disebut dengan eling itu: sangat berguna. Saya memilih istilah 'sangat berguna' dibandingkan dengan istilah 'sangat mulia', 'sangat berharga'—sangat berguna—untuk membebaskan segala macam beban pikiran atau beban mental kita. 
Perkenankan saya memberikan tambahan cerita; Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari juga mendapatkan beban mental dari keseharian yang sederhana dan mungkin juga berat. Kita mungkin tiba-tiba teringat bahwa dua-tiga hari kemudian akan menghadapi suatu masalah yang berat, maka timbullah beban mental. Dan itu sampai membuat seseorang pucat, bersedih, ketakutan. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi mengerti kesadaran, sadarilah, elinglah, maka beban mental itu akan padam, sesaat. Kalau nanti muncul kembali, sadari kembali. Kalau Ibu, Bapak & Saudara sering menghadirkan kesadaran, maka kesadaran itu juga akan sering hadir, menyadari pikiran, perasaan yang timbul.
Ibu, Bapak & Saudara,
Pada saat kesadaran itu absen, pikiran yang membebani mental kita itu sangat menekan, membuat kita merasa seperti tidak ada lagi jalan untuk terbebas; mengeluh, bahkan ada yang menangis meraung-raung bergulung-gulung. Tetapi begitu kita sadar, maka berhentilah tekanan-tekanan mental yang begitu berat. Kita juga harus menyadari kenikmatan, kesenangan, kepuasan yang muncul; tidak hanya kesedihan, tidak hanya kemarahan, tidak hanya keinginan-keinginan yang buruk; karena kesenangan, kepuasan, kenikmatan yang muncul itu kalau tidak disadari akan menimbulkan ketagihan.
Ibu, Bapak & Saudara,
Saya akan menguraikan sedikit lagi sebagai bagian akhir uraian pagi hari ini. Hal yang paling penting bagi kita sebetulnya adalah menyadari—meskipun tidak mampu terus-menerus—sebanyak mungkin terhadap munculnya pikiran keakuan. Kadang-kadang timbul pikiran, "O, aku lebih baik dari dia," dalam berbagai hal: pengetahuan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Itu adalah keakuan, yang kalau tidak disadari, tentu keakuan itu akan berkembang, menimbulkan kecongkakan, menimbulkan kesombongan, dan menimbulkan tindakan-tindakan yang bisa merugikan orang lain. Pikiran keakuan yang lain adalah, "O, aku masih sama dengan dia, tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah." "Apakah ini juga keakuan, Bhante?"—Ya, ini adalah keakuan juga, dan pikiran keakuan itu kalau tidak disadari, maka akan berkembang, membuat seseorang kemudian berpikir, "Karena saya masih sama, maka saya harus melakukan sesuatu sehingga bisa melebihi dia." Atau pikiran yang lain timbul, “Karena saya sama, maka saya tidak lebih jelek dari dia." Pikiran keakuan lain lagi yang timbul adalah, "O, saya masih lebih rendah dari dia, saya lebih bodoh, saya lebih tidak mengerti, meditasi saya lebih jelek." Ini pun keakuan. Kalau keakuan ini tidak diatasi, akan membuat beban mental yang lain.
"Lalu bagaimana, Bhante, mengatasinya? Apakah dengan pandangan-pandangan filosofis, bahwa merasa lebih rendah juga berbahaya, merasa sama juga ada risikonya, merasa lebih tinggi juga membahayakan yang lain?”—Tidak. Ibu, Bapak & Saudara yang mengerti kesadaran, pernah melatih meditasi dan tetap melatih meditasi, sadari saja keakuan itu, maka keakuan itu akan padam. Aku yang merasa lebih, aku yang merasa sama, atau aku yang merasa kurang dari yang lain, sadari saja!
"Tetapi apakah kita tidak boleh melakukan sesuatu, Bhante?"—Mengapa tidak boleh? Lakukanlah hal-hal yang baik, karena Anda tidak sepanjang masa tinggal di vihara, retret, Anda berada di masyarakat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain: "O, aku lebih rendah, aku lebih kurang, aku harus berbuat lebih dari dia." "O, aku sama dengan dia, aku harus melanjutkan yang sama ini supaya tidak melorot, atau menambah supaya lebih tinggi." "O, aku lebih tinggi dari dia, aku sudah cukup, dan aku harus mempertahankan kondisi yang lebih tinggi ini supaya tidak melorot."
Dalam kehidupan biasa memacu diri dengan cara membandingkan dirinya terhadap orang lain mungkin ada baiknya, tetapi dalam perkembangan membebaskan pikiran kita dari penderitaan, pandangan seperti itu tidak bermanfaat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain.
Ibu, Bapak & Saudara,
Oleh karena itu, bolehlah saya memesankan: meditasi tidak berhenti pada hari ini; lanjutkan dalam keseharian Ibu, Bapak & Saudara. Hadirkan kesadaran untuk menyadari pikiran apa pun, perasaan apa pun yang menjadi beban mental, tekanan batin, luka batin, ataupun kepuasan, kebahagiaan, kenikmatan; sadari, sadari. Dengan menyadari kita akan membebaskan mental kita, batin kita, dari beban; mungkin hanya sesaat, tetapi itulah kebebasan. Anjuran saya juga, duduklah bermeditasi sehari paling tidak satu kali, setengah jam atau satu jam. Memang kesadaran itu bisa hadir pada saat kita duduk, pada saat kita berdiri, berjalan atau berbaring, tetapi para guru meditasi menjelaskan bahwa dalam posisi duduk maka hadirnya kesadaran menjadi lebih kuat, lebih tajam.
Ibu, Bapak & Saudara,
Guru Agung Buddha Gotama juga mengatakan "Ajaran yang Kuajarkan ini seperti rakit. Kalau rakit itu tidak digunakan menyeberang di sungai, hanya dipegang atau dijunjung di atas kepala saja,  tentu tidak bermanfaat. Sering Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama itu oleh umat Buddha dijadikan bukan sebagai rakit, tetapi hanya dipegang di atas kepala, sehingga ajaran itu kemudian sering menimbulkan perdebatan. "Perdebatan dengan siapa, Bhante? Dengan orang lain?"  Yang lebih sering, berdebat dengan dirinya sendiri. "Ajaran mengajarkan begini, tetapi diriku mengapa masih seperti ini, aku masih belum maju, belum bisa melaksanakan ajaran. Ajaran mengajarkan seperti ini, tetapi aku bersikap begini. Hal ini tidak termasuk yang dibolehkan atau yang dilarang? Tetapi melanggar sedikit, boleh, ‘kan?” Begitulah, timbul perdebatan—mungkin dengan istilah lain: pertikaian—timbul pertikaian antara ajaran yang diketahui, dimengerti, diyakini, dengan kondisi batinnya, dengan perilakunya yang masih belum cocok. Perdebatan atau pertikaian ini menimbulkan ketegangan, rasa bersalah, merasa menjadi umat yang belum mampu mengikuti ajaran, bahkan sering juga timbul pemikiran: "Apakah meditasiku ini sudah benar?" Dan hal-hal itu kemudian menjadi masalah dalam pikirannya sendiri. Sulit dihilangkan. Nah, perdebatan-perdebatan, pertikaian-pertikaian di dalam pikiran kita sendiri itu harus berhenti dengan kesadaran. Pada saat kesadaran hadir, pada saat itu kita mulai menggunakan rakit itu, tidak meletakkan rakit hanya di atas kepala; karena pada saat kesadaran hadir, pada saat kita eling, perdebatan atau pertikaian di dalam pikiran antara ajaran dengan kondisi dirinya, keragu-raguan, dan sebagainya, menjadi padam. Itulah kebebasan, meskipun hanya sesaat.
Kalau boleh dinamakan 'tujuan', tujuan kita bermeditasi adalah kebebasan; kebebasan dari kelekatan, dari kelengketan terhadap apa pun. Dan kalau Anda menghadirkan kesadaran, Anda mengalami kebebasan itu. Bukan sesuatu yang nun jauh di sana, dan harus dicapai setelah kita dilahirkan berulang-ulang, melainkan sekarang juga. Pada saat kesadaran hadir, Anda mengalami kebebasan. Kesadaran itu membebaskan.
Semogalah latihan Ibu, Bapak & Saudara memberikan manfaat, sekarang dan juga untuk kemudian. Terima kasih.


Oleh: Hudoyo Hupudio

Pendahuluan

Kata ‘meditasi’ mengandung banyak makna bagi para pemakai kata itu dan bagi para pendengarnya. Ada banyak tujuan orang bermeditasi; dengan demikian, ada banyak pula cara atau teknik meditasi. Ada meditasi yang bertujuan untuk mencapai hal-hal yang bersifat duniawi—seperti kesaktian, kesembuhan, melihat alam gaib, dan sebagainya—dan ada pula meditasi yang mempunyai tujuan spiritual, seperti mencapai atau menyatu dengan prinsip yang dianggap “tertinggi”, seperti Tuhan, Nirvana, Moksha, Alam Semesta, dan sebaginya. Pada umumnya, meditasi menyangkut pemusatan perhatian (konsentrasi) pada suatu objek tertentu—seperti: nafas, visualisasi, kata-kata/mantra, dan sebagainya— untuk waktu yang lama, dengan harapan pada akhirnya mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, sifat umum dari kebanyakan jenis meditasi adalah suatu pencapaian, yang tentu saja dipahami akan tercapai di masa depan.
Ada satu jenis meditasi yang berbeda dengan kebanyakan meditasi lain. Meditasi ini diajarkan oleh Buddha Gotama, lebih dari 2500 tahun lalu, disebut meditasi vipassana. Meditasi ini berangkat dari fakta eksistensial yang diajarkan oleh Sang Buddha, yakni bahwa segala sesuatu dalam kehidupan atau eksistensi ini tidak kekal, terus-menerus berubah, dan tidak memuaskan; fakta ini menyebabkan penderitaan bagi orang yang tidak memahaminya: ia melekat erat pada jasmani dan batinnya, dan mencari kebahagiaan serta keabadian yang tidak pernah diketahui dan dirasakannya. Sang Buddha juga mengajarkan, bahwa penyebab atau sumber dari penderitaan eksistensial itu ialah oleh karena manusia tidak memahami aku/dirinya, terutama pikiran dan keinginannya, yang selalu mencari kebahagiaan dan keabadian (Anatta-lakkhana-sutta, Samyutta Nikaya, 22.59). Untuk mencapai kebahagiaan dan keabadian itu manusia selalu terlibat dalam konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan orang lain di sekitarnya; ia terlibat konflik antara apa yang ada sekarang dengan apa yang dicita-citakan di masa depan dalam pikirannya.
Sang Buddha mengajarkan, bahwa dengan meditasi vipassana—yakni mengamati secara pasif setiap gerak-gerik jasmani dan batin (pikiran, perasaan, emosi, keinginan, harapan, keputusasaan, kesenangan, penderitaan, dan sebagainya)—manusia dapat memperoleh pencerahan akan hakikat sesungguhnya dari kehidupan/eksistensi yang tidak kekal dan tidak memuaskan ini. Dengan tercapainya pencerahan itu, manusia terbebas dari kelekatan pada jasmani dan batinnya; dengan demikian, terbebas dari penderitaan (dukkha). Namun pembebasan dari penderitaan ini tidak mungkin tercapai dengan suatu usaha yang aktif dari aku/diri ini untuk mencapainya, oleh karena justru aku/diri inilah sumber atau penyebab dari penderitaannya—aku/diri tidak mungkin dapat melenyapkan aku/diri.
Justru  sifat-sifat khusus dari meditasi vipassana adalah kebalikan dari kehidupan sehari-hari: pasif, berhenti, diam, lepas, berada pada saat kini. Seperti kata Sang Buddha kepada Angulimala, si perampok dan pembunuh: “Aku sudah lama berhenti. Kamulah yang masih terus berlari. Berhentilah!” Berada pada saat kini terus-menerus, yang di situ aku/diri dan pikiran ini berhenti, itulah pintu menuju pembebasan, menurut Sang Buddha. (Mulapariyaya-sutta, Majjhima Nikaya, 1 dan Bahiya-sutta, Udana, 1.10).
Namun, patut disayangkan bahwa, dengan perjalanan waktu, dalam banyak praktik meditasi vipassana yang diajarkan di dunia pada dewasa ini, prinsip-prinsip meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha telah bergeser: dari pelepasan menjadi pencapaian, dari kepasifan menjadi berupaya dan aktif berkonsentrasi. Bagi banyak praktisi vipassana, mungkin pada awalnya pergeseran ini tidak dirasakan; namun, bagi sementara praktisi vipassana lain, mereka mengalami kesulitan untuk benar-benar memahami gerak-gerik jasmani dan batin ini secara pasif apabila mereka diharuskan berusaha, apalagi dengan berkonsentrasi, untuk mencapainya. Bagi para praktisi yang tersebut belakangan inilah, sejak beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan Meditasi Mengenal Diri (MMD), yakni suatu jenis meditasi vipassana yang diyakini telah dikembalikan kepada sifat-sifat khusus meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Meditasi Mengenal Diri (MMD)

Pemahaman bahwa praktik meditasi vipassana yang banyak diajarkan pada dewasa ini telah bergeser jauh dari apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Sang Buddha diilhami oleh praktik meditasi yang diajarkan J. Krishnamurti pada abad ke-20. J. Krishnamurti mengritik kebanyakan teknik meditasi yang semuanya mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi. Dalam hal ini termasuk pula banyak teknik vipassana Buddhis.
Bagi J. Krishnamurti, teknik meditasi apa pun sama sekali tidak membebaskan, tidak mentransformasikan batin manusia; alih-alih, malah membuat batin lebih dalam terjerat dalam keterkondisian dan keterbatasannya. Teknik konsentrasi apa pun hanya membawa praktisinya ke dalam suatu keadaan pemusatan batin yang kuat, yang mungkin memberikan suatu rasa nikmat dan bahagia yang intens, sehingga mudah disangka sebagai kebebasan, tetapi sesungguhnya menjerat batin dalam keterkondisian dan ketidakbebasan yang lebih halus.
Meditasi Mengenal Diri (MMD) adalah versi meditasi vipassana yang selama beberapa tahun terakhir telah dikembangkan dari vipassana yang diajarkan secara “tradisional”. Dalam MMD, meditasi vipassana “tradisional” telah banyak dimodifikasi berdasarkan ajaran J. Krishnamurti tentang sadar/eling secara pasif atau sadar/eling tanpa memilih, yang sesungguhnya adalah kembali pada sifat-sifat praktik meditasi vipassana murni ajaran Sang Buddha sendiri.  Dengan demikian, ada beberapa perbedaan penting antara meditasi vipassana versi MMD dan meditasi vipassana “tradisional”:

(1) Tujuan meditasi vipassana

Bila seorang praktisi vipassana “tradisional” ditanya, apakah tujuan meditasi vipassana, biasanya jawabannya adalah: untuk melenyapkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha), sehingga tercapai pembebasan dari kelekatan pada jasmani dan batin (nama-rupa); pembebasan itu disebut ‘Nibbana/Nirvana’. Dengan demikian, tujuan vipassana “tradisional” bersumber dari doktrin agama Buddha. Tujuan meditasi vipassana ini dipahami akan tercapai pada suatu saat di masa depan.
Apakah tujuan MMD? Tujuan MMD mengandung sebuah paradoks. Di satu sisi, tujuan MMD adalah berakhirnya aku/diri secara radikal, yang berarti berakhirnya penderitaan (dukkha) sepenuhnya—secara teoretis, tentu saja hal ini akan tercapai di masa depan. Di sisi lain, secara praksis aktual, tujuan MMD ini tidak dilihat sebagai berada di masa depan, melainkan harus terjadi pada saat kini, sebagai suatu transformasi batin yang hanya bisa didekati melalui saat ini. Dalam praksis aktual, tujuan MMD adalah sadar/eling sedalam-dalamnya dan terus-menerus terhadap gerak-gerik jasmani dan batin ini pada saat munculnya, dari saat ke saat, sekarang dan di sini.
Dengan demikian, secara teoretis, tujuan MMD tidak berbeda dengan tujuan meditasi vipassana “tradisional”; namun secara praksis aktual, ternyata terdapat perbedaan mendasar di antara kedua jenis meditasi vipassana itu.
Pengertian ‘tujuan’ selalu mengacu pada suatu keadaan yang ingin dicapai di masa depan; tetapi, seperti dikatakan di atas, secara paradoksal tujuan MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus. Dengan demikian, di dalam MMD tidak relevan lagi orang bicara tentang suatu ‘tujuan’ di masa depan, di dalam MMD tidak ada ‘tujuan’.
Selain itu, ‘tujuan’ MMD adalah identik/sama dengan ‘metode’-nya, yakni berada pada saat kini terus-menerus, yang adalah ‘non-metode’ (lihat bawah).
Paradoks tujuan MMD ini tidak terdapat dalam pengajaran vipassana “tradisional” kepada para praktisinya. Tujuan vipassana “tradisional”, yakni nibbana, diletakkan di masa depan, bahkan sering kali ditampilkan bahwa tujuan itu hanya bisa dicapai di masa depan yang jauh, tidak dalam kehidupan sekarang.
Paradoks dari sebuah tujuan/keadaan transendental sebagaimana diuraikan di atas juga terlihat dalam kitab-kitab Mahaprajnaparamita dari Buddhisme Mahayana, seperti Sutra Intan, Sutra Hati, dan sebagainya.
Sekali lagi, tujuan MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus; di dalam MMD orang tidak memandang ke masa depan. Bila orang bisa berada dalam keadaan itu terus-menerus, di situlah terdapat kemungkinan—itulah pintu—menuju berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia; inilah yang dicari oleh umat manusia sepanjang zaman.
Apa dan bagaimana berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia itu tidak dibahas dan tidak dikonseptualisasikan dalam praktik MMD, karena hal itu akan merupakan diskursus pikiran lagi, yang mau tidak mau akan menjadi satu lagi doktrin di antara sekian banyak doktrin spiritual yang ada, dan hanya merintangi orang untuk berada pada saat kini terus-menerus, melihat apa adanya (yathabhutam nyanadassanam) tanpa dicampuri oleh konsep-konsep ciptaan pikiran.
Tujuan MMD bukan hanya melenyapkan keadaan-keadaan batin yang negatif, seperti lobha, dosa, dan moha seperti di dalam vipassana “tradisional”, tetapi juga memahami keadaan-keadaan batin yang positif, seperti cinta (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha). Ketika semua keadaan batin yang negatif maupun positif itu dipahami/disadari, maka pemeditasi tidak akan menolak keadaan batin yang negatif dan/atau melekat pada keadaan batin yang positif.

(2) Teknik/metode meditasi vipassana

Adanya perbedaan dalam tujuan meditasi di antara meditasi vipassana “tradisional” dan MMD menyebabkan perbedaan yang mendasar dalam praktik di antara kedua versi vipassana itu. Dalam kebanyakan meditasi vipassana “tradisional” diajarkan berbagai teknik yang harus dijalankan oleh pemeditasi kalau ia ingin mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw, ditekankan teknik-teknik berikut:
* berkonsentrasi untuk waktu lama pada sebuah “objek utama”;
* mencatat/memberi label segala sesuatu yang teramati dalam meditasi (setidak-tidaknya pada “tahap awal” praktik);
* melakukan meditasi duduk dan meditasi jalan berganti-ganti dalam sesi meditasi formal;
* memperlambat sedapat mungkin semua gerakan tubuh agar dapat diamati secara kuat.
Semua itu dilakukan, dan didasari usaha (viriya) yang maksimal, dengan tujuan agar konsentrasi berkembang secara maksimal pula, sehingga tercapai berbagai pencerahan (nyana) yang teorinya telah diketahui lebih dahulu, dan akhirnya tercapai pembebasan (nibbana).
Di lain pihak, di dalam MMD:
* tidak ada konsentrasi pada ‘objek utama’ apa pun—karena sadar/eling yang berkembang secara pasif akan mengembangkan pula perhatian (sati) yang kuat, tetapi bukan konsentrasi. Alih-alih berkonsentrasi secara sempit pada satu objek, perhatian dibiarkan terbuka seluas-luasnya secara alamiah meliputi seluruh indera, sehingga dapat menyadari rangsangan yang masuk melalui seluruh indera, termasuk batin (pintu masuknya ingatan dari masa lampau);
* segala fenomena yang muncul dalam badan dan batin sekadar disadari secara pasif, tanpa usaha mencatat/memberi label, yang tiada lain adalah gerak pikiran lagi;
* keadaan batin sadar/eling itu bisa dikembangkan dalam keadaan atau kegiatan apa pun: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, tanpa membedakan dan memisahkan antara kegiatan meditasi formal dengan kegiatan sehari-hari—dengan demikian keadaan batin meditatif itu berkembang secara alamiah menjadi keadaan batin sepanjang waktu ketika pikiran/aku tidak dibutuhkan;
* gerakan tubuh tidak perlu diperlambat secara sengaja dan artifisial—apabila perhatian menjadi kuat, maka gerakan tubuh akan melambat dengan sendirinya, sekalipun melambatnya gerakan tubuh itu tidak dikembangkan dengan sengaja sebagai suatu teknik meditasi.
Secara singkat, di dalam MMD tidak ada teknik meditasi apa pun, termasuk tidak ada konsentrasi terus-menerus pada satu objek. Selain itu, di dalam MMD tidak ada usaha (viriya) sama sekali—untuk berada pada saat kini tidak dibutuhkan usaha apa pun.
Pengerahan usaha justru akan menghalangi pikiran dan aku/diri untuk berhenti secara alamiah, menghalangi pembebasan. Ini terlihat jelas dalam pengalaman Bhikkhu Ananda (saudara sepupu Sang Buddha) menjelang Konsili I Sangha, tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Konsili itu  hanya boleh dihadiri oleh para arahat, sehingga beliau—yang pada waktu itu masih belum bebas sepenuhnya—berusaha keras untuk mencapai kearahatan dalam waktu semalam. Ternyata justru usaha keras itu menghalangi tercapainya pembebasan. Justru pada saat beliau menghentikan sama sekali usahanya, ketika malam menjelang fajar, muncullah pembebasan terakhir dalam batinnya. (Vinaya Pitaka, Culavagga, Khandaka, 11)
Karena tidak ada teknik meditasi apa pun, dan tidak ada usaha untuk mencapai apa pun, maka pemeditasi bebas dari beban meditasi, sehingga sadar/eling pada saat kini, terus-menerus, tanpa mengharapkan apa pun di masa depan, merupakan keadaan diam, istirahat, dan berhenti secara sempurna.

 (3) Rujukan dari kitab suci

Hampir semua teknik vipassana “tradisional” menggunakan Mahasatipatthana-sutta (Digha Nikaya, 22) yang terkenal sebagai rujukannya. Sutta itu penuh dengan doktrin agama Buddha, sehingga pemeditasi sukar membedakan mana yang doktrin dan mana yang pengalaman pribadi dalam meditasi pada waktu ia menerapkannya dalam praktik. Kontemplasi terhadap keempat kelompok dhamma (fenomena jasmani dan batin) yang diajarkan dalam Mahasatipatthana-sutta itu tidak lebih daripada kegiatan analisis intelektual semata-mata dan bukan keadaan sadar/eling aktual yang secara pasif menyadari fenomena yang muncul pada saat sekarang dan di sini. Mendiang Ajahn Buddhadasa Mahathera menyebut Mahasatipatthana-sutta sebagai tidak lebih dari sebuah “daftar berkepanjangan dari objek-objek meditasi Buddhis”—alih-alih menggunakan sutta itu sebagai rujukan untuk mengajarkan meditasi vipassana menuju pembebasan/nibbana, beliau menggunakan Anapanasati-sutta (Majjhima Nikaya, 118).
Di lain pihak, MMD menggunakan Bahiya-sutta, yang di situ Sang Buddha memberikan tuntunan vipassana yang langsung dan singkat kepada Bahiya (Bahiya-sutta, Udana 1.10). Bahiya adalah seorang petapa, bukan bhikkhu siswa Sang Buddha, dan selama hidupnya tidak pernah mendengar doktrin Buddhisme sama sekali. Namun Sang Buddha tidak mengajarkan “doktrin Buddhisme” apa pun kepada Bahiya; alih-alih Sang Buddha mengajarkan vipassana secara murni tanpa dilandasi doktrin apa pun; dan pada saat itu juga, ketika khotbah Sang Buddha selesai, Bahiya mencapai pencerahan terakhir. Tuntunan vipassana yang sama diajarkan pula oleh Sang Buddha kepada Malunkuyaputta, seorang bhikkhu tua; dan akhirnya Bhikkhu Malunkyaputta pun mencapai pencerahan terakhir setelah berlatih beberapa lama (Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95).
Oleh karena tuntunan vipassana Sang Buddha kepada Bahiya bersifat bebas dari doktrin Buddhisme, maka tuntunan itu cocok untuk digunakan sebagai rujukan mengajarkan MMD kepada para peminat MMD yang non-Buddhis maupun kepada umat Buddha sendiri.

(4) Ritualisme

Oleh karena kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam konteks agama Buddha dan diselenggarakan di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme. Suatu kekecualian dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di lokasinya tidak terdapat simbol-simbol keagamaan sedikit pun, sehingga pemeditasi tidak terdorong melakukan ritual apa pun dalam praktik retretnya. Kelekatan pada ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan.
Di dalam MMD, sekalipun retret dilakukan di dalam Dharmasala (Ruang Kebaktian) sebuah vihara, selama retret berlangsung peserta sangat dianjurkan untuk tidak melakukan ritual agama Buddha apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam) yang ada di sana, membaca paritta, dan sebagainya.
Sedangkan bagi peserta retret MMD yang beragama Islam, mereka tetap dibenarkan melakukan ibadah sholat yang wajib menurut ajaran agamanya.

Retret MMD

Retret MMD telah diselenggarakan sejak tahun 2000 di berbagai vihara dan tempat lain di Indonesia. Pada dewasa ini, secara teratur retret MMD diadakan di:
    • Jawa Barat – di Cipanas dan Vihara Siripada (Bumi Serpong Damai)
    • Jawa Tengah – Vihara Mendut (Magelang)
    • Bali – Brahmavihara-arama (Kabupaten Buleleng)

Secara insidentil retret MMD diadakan juga di:
    • Kalimantan Timur – Vihara Muladharma (Samarinda)
    • Jawa Tengah – Vihara Dhamma Sundara (Solo)
    • Sumatera Utara

Kepada para peminat MMD ditawarkan dua jenis retret MMD: Retret MMD Akhir Pekan, dan Retret MMD Seminggu. Jadwal retret-retret MMD selama setahun berjalan, lengkap dengan alamat (nomor HP dan email) tempat pendaftaran di masing-masing lokasi di atas, dapat dilihat pada situs web MMD, http://meditasi-mengenal-diri.org. Informasi lebih lanjut dan diskusi mengenai MMD dapat diikuti di Forum Diskusi MMD, http://meditasi-mengenal-diri.ning.com.
Semua retret MMD diberikan tanpa dipungut biaya, kecuali sumbangan sukarela yang diserahkan kepada vihara pada akhir retret sesuai kemampuan peserta masing-masing.
Pada dewasa ini, MMD hanya diajarkan oleh Dr. Hudoyo Hupudio, MPH, 65 tahun. Tetapi di kemudian hari diharapkan akan tampil para penerus yang kompeten untuk berbagi pengalaman dan mengajarkan prinsip-prinsip MMD demi pencerahan orang banyak.
1 Januari 2009,
Hudoyo Hupudio
<hudoyo@cbn.net.id>

Jadwal Retret MMD 2011
SUMMARY OF MMD RETREATS CALENDAR 2011
  • 14 - 16 Jan - Weekend retreat at Cipanas, West Java
  • 18 - 20 Feb - Weekend retreat at Mendut Vihara, Central Java
  • 26 Feb - 6 Mar - One-week retreat at Brahmavihara-arama, Bali
  • 2 - 10 Apr - One-week retreat at Vihara Buddha Gaya, Watugong (Semarang), Central Java
  • 8 - 10 Apr - Weekend retreat at Vihara Buddha Gaya, Watugong (Semarang), Central Java
  • 22 - 24 Apr : Weekend retreat at Cipanas, West Java
  • 3 - 5 Jun - Weekend retreat at Mendut Vihara, Central Java
  • 4 - 11 Jul - One-week retreat at Brahmavihara-arama, Bali (with Sayadaw U Tejaniya from Myanmar)
  • 22 - 24 Jul - Weekend retreat at Cipanas, West Java
  • 5 - 7 Aug - Weekend retreat at Vihara Buddha Gaya, Watugong (Semarang), Central Java
  • 7 - 9 Okt - Weekend retreat at Cipanas, West Java
  • 21 - 23 Okt - Weekend retreat at Mendut Vihara, Central Java
  • 5 - 13 Nov - One-week retreat at Vihara Buddha Gaya, Watugong (Semarang), Central Java
  • 11 - 13 Nov - Weekend retreat at Vihara Buddha Gaya, Watugong (Semarang), Central Java
  • 26 Nov - 4 Dec - One-week retreat at Brahmavihara-arama, Bali
  • 24/12 - 1/1 : One-week MMD Retreat at Mendut Vihara, Central Java
(Instructions & discussions are conducted in Indonesian & English)

ONE-WEEK MMD RETREATS The retreats start at 7 p.m. and end at 7 a.m. on the appointed date.

BALI: at BRAHMAVIHARA-ARAMA, Buleleng District, Northern Bali
  • 26 Feb - 6 March
  • 4 - 11 July (with Ven Sayadaw U Tejaniya from Myanmar)
  • 26 Nov - 4 December

Registration:
  • Iwan Ananta Wijaya, 0811 399244, wanantawi@yahoo.com,
  • Evina Yosiardi (English), 0819 99917877, ey_ba_me@yahoo.com

CENTRAL JAVA: at BUDDHA GAYA Vihara (Watugong), Semarang
  • 2 - 10 April
  • 5 - 13 November

Registration: Sugijanto, 0818242230

CENTRAL JAVA: at MENDUT Vihara (near Borobudur Temple)
  • 24 Dec '11 - 1 Jan 2012

Registration: Waluyo, 08122943113, sadarsetiapsaat@yahoo.com (Note: retreats at MENDUT Vihara usually are fully booked two months in advance. Please, register as early as possible.)

EAST KALIMANTAN: at MULADHARMA Vihara (Samarinda),
  • to be announced

Registration: Alim, 0541 7106202, newton_learning@yahoo.com

WEEKEND MMD RETREATS
The retreats start at 7 p.m. and end at 7 a.m. on the appointed date.

WEST JAVA: at Cipanas, Puncak
  • 14 - 16 January
  • 22 - 24 April
  • 22 - 24 July
  • 7 - 9 October

Registration: Hudoyo, 0811 873490, hudoyo@cbn.net.id

CENTRAL JAVA: at MENDUT Vihara (near Borobudur Temple)
  • 18 - 20 February
  • 3 - 5 June
  • 21 - 23 October

Registration: Waluyo, 0812 2943113, sadarsetiapsaat@yahoo.com (Note: retreats at MENDUT Vihara usually are fully booked two months in advance. Please, register as early as possible.)

CENTRAL JAVA: at BUDDHA GAYA vihara (Watugong), Semarang
  • 8 - 10 April
  • 5 - 7 August
  • 11 - 13 November

Registration: Sugijanto, 0818 242230



BIAYA PELATIHAN (FEE): Pada prinsipnya, pelatihan ini diberikan secara gratis. Pembimbing dan para petugas dalam retret ini tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun. Namun, apabila retret ini diadakan di sebuah vihara, pada akhir retret para peserta diharapkan menyumbang secara sukarela (dengan jumlah yang tidak ditentukan besarnya) kepada vihara. Bila retret ini diadakan di sebuah tempat yang disewa untuk itu, maka biaya akomodasi dan konsumsi ditanggung bersama-sama secara transparan oleh para peserta. (In principle, the retreats are offered free of charge. The teacher and dharma-workers in the retreats do not receive any remuneration whatsoever. However, when the retreat is conducted at a vihara, at the end of the retreat a voluntary donation is expected to be offered to the vihara. When the retreat is conducted at a place rented for the purpose, the cost of board & lodging is shouldered transparently by the participants.)
Untuk informasi lebih lanjut harap hubungi (For further information, please contact):
Pembimbing (Teacher):
Dr. Hudoyo Hupudio, MPH Tel.: (+62 21) 8730080, HP (mobile): (+62) 811-873490;
email: hudoyo@cbn.net.id

CATATAN (NOTE): Jadwal ini dapat berubah sewaktu-waktu. Setiap perubahan akan diumumkan di forum ini. (This schedule may change at any moment without notice. Please, visit this page regularly.)

Minggu, 29 Mei 2011

JEJAK SEJARAH PERADABAN BUDDHIS NUSANTARA & PERAN VIHARA BUDDHAGAYA DALAM KEBANGKITAN KEMBALI BUDDHA DHAMMA DI INDONESIA

BUDDHA DHAMMA DI NUSANTARA

Nusantara Indonesia merupakan rangkaian lebih dari 13.000 pulau yang terletak sangat strategis di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik.

Dahulu kala, nusantara yang memiliki sumber daya alam terlengkap di dunia ini, telah mengadakan perhubungan dengan berbagai negeri tetangga. Salah satunya adalah hubungan dagang dan alih teknologi serta sastra budaya yang selaras dan seimbang dengan nafas hidup masyarakat nusantara.

Dengan semboyan “Mitreka Satata” yang berarti “Persahabatan dengan dasar saling menghormati” menempatkan nusantara diperhitungkan oleh konstelasi politik berbagai negeri di Asia Tenggara khususnya untuk dapat mengadakan kerjasama yang menguntungkan dengan para penguasa nusantara.

Pada saat itulah, Buddha Dhamma ikut mengukir sejarah perkembangan dan kejayaan nusantara dengan berdirinya Kedatuan Sriwijaya (700-1377 M) dan Keprabuan Majapahit (1293-1478 M). Satu hal yang patut dibanggakan dan dipetik pelajarannya, bahwa wilayah kekuasaan kedua kerajaan tersebut sama dengan kekuasaan Republik Indonesia sekarang. Bahkan dapat dikatakan lebih luas lagi bila kita mau memperhatikan dengan seksama satu persatu akar budaya masyarakat di sekitar Republik Indonesia seperti pada tata cara bahasa, budaya maupun kehidupan religiusnya.

Sumbangan nyata Buddha Dhamma dapat kita jumpai dari peninggalan bangunan candi yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Seperti Candi Mendut dan Candi Agung Borobudur yang sampai kini menjadi kebanggaan bangsa dan menjadi pusat studi berbagai kajian ilmu modern oleh para mahasiswa dan peneliti dari seluruh penjuru dunia.

Puncaknya, bangsa Indonesia menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi warisan nenek moyangnya yang memeluk Buddha Dhamma dengan menetapkan Sesanti “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua” yang berarti : walaupun berbeda namun tetap satu adanya, tidak ada agama yang mempunyai tujuan berbeda dan agama tersebut (Hindu, Buddha dan Siwa Buddha) hidup berdampingan secara damai dan dilindungi Negara. Sesanti itu termuat dalam Karangan Sutasoma karya Empu Tantular sebagai lambang Negara dan Pancasila Krama yang berarti “Lima Dasar Tingkah Laku” atau Panca Sila menjadi Dasar Negara, Pandangan hidup bangsa dan menjadi sumber dari segala sumber hukum Indonesia.

Namun sayang, sumbangsih peradaban Buddha Dhamma pada Nusantara harus berakhir karena ajaran luhur tersebut “harus tertidur pulas” seiring dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit di Tahun 1478 M. Dan praktis tidak ada lagi  Kegiatan ritual religius dan sosial kemasyarakatan bernuansa Buddhis selama beratus tahun kemudian.




SUMBANGSIH VIHARA BUDDHA GAYA WATUGONG PADA KEBANGKITAN KEMBALI BUDDHA DHAMMA DI NUSANTARA INDONESIA



Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan  Kerajaan Majapahit dan “tertidurnya” Buddha Dhamma di Nusantara, munculah berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk Nusantara akan warisan luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma. Agar dapat kembali dipraktekkan oleh para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

Usaha  yang semula banyak digagas melalui perkumpulan Theosofi di jaman penjajahan Belanda ini (1920-1930an) juga disebarluaskan melalui media cetak khusus yang membahas Buddha Dhamma yakni melalui Majalah Mustika Dharma yang dipimpin oleh Alm. Kwee Tek Hoay.

Harapan akan adanya orang yang mumpuni untuk mengajarkan Buddha Dhamma pada para umat dapat terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Thera dari Negeri Srilanka pada tahun 1934. Gayungpun bersambut. Kehadiran Dhammaduta berjubah kuning sesudah 500 tahun tertidurnya Buddha Dhamma di Nusantara tersebut dimanfaatkan umat dan simpatisan untuk mengembangkan diskusi dan memohon pembabaran Dhamma lebih luas lagi. Puncaknya, munculah putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh pada penyebaran Buddha Dhamma kembali, yakni Pemuda Bogor bernama Tee Boan An yang kemudian menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakhita yang ditahbiskan di Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon, Burma pada tanggal 23 Januari  1954.

Karena kepiawaian dan kepribadian Bhikkhu Ashin yang berwibawa dan bijaksana, pada tahun 1955 sesudah perayaan Waisak 2549 BE yang dipimpinnya di Candi Agung Borobudur, berkesan pada batin seorang dermawan dari kota Semarang, Goei Thwan Ling yang kemudian mempersembahkan tanah miliknya untuk digunakan sebagai pusat pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian diberi nama Vihara Buddha Gaya dan pada tanggal 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddha Gaya untuk menaungi aktivitas Vihara.

Dari Vihara inilah kemudian satu episode baru pengembangan Buddha Dhamma berlanjut. Mulai tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakhita, sang pelopor kebangkitan Buddha Dhamma di Nusantara, menetap di Vihara Buddha Gaya Semarang. Banyak sejarah besar beliau torehkan bersama Vihara Buddha Gaya. Seperti, pembentukan organisasi Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia saat Perayaan Asadha pada bulan Juli tahun 1955, membimbing latihan meditasi Vipassana pertama dari tanggal 2 sampai 11 Desember 1955, menggagas perayaan Buddha Jayanti yang diperingati oleh umat Buddha di seluruh dunia di tahun 1956, penanaman pohon Bodhi pada tanggal 24 Mei 1956 dan pendirian Sima Internasional pertama di Kasap (Belakang Makodam IV/Diponegoro sekarang-red) untuk penahbisan Bhikkhu baru yang dihadiri 14 orang Bhikkhu dari luar negeri pada Perayaan Waisak 2503 pada tanggal 21 Mei 1959.
 Sumber : 
Brosur Vihara Buddhagaya Watu Gong Semarang.
Penulis : Wahyudi Agus Riyanto, A.Md - Wakil Sekretaris Yayasan Buddhagaya Semarang

Sabtu, 28 Mei 2011

INFORMASI SEKRETARIAT YAYASAN BUDDHAGAYA SEMARANG PENGELOLA VIHARA BUDDHAGAYA WATU GONG SEMARANG

ü Alamat Sekretariat Vihara :
a.   Vihara Buddhagaya Watugong
JL. Perintis Kemerdekaan (Depan MaKodam IV/Dip) SEMARANG
TELP / FAKS       : 024-7473590
b.   JL. Jend. Sudirman No. 194 SEMARANG
TELP : 024-7601995   FAKS : 024-7602220

ü Alamat E.mail           : vihara_watugong@yahoo.com
ü Facebook                 : Vihara Buddhagaya Watugong
                                     
  ( Search via email : vihara_watugong@yahoo.com )
ü Blog                           : Vihara Buddhagaya Watugong.blogspot
ü Web site                    : under constraction

ü Info kunjungan wisata religius, khusus siswa sekolah, dll
a.   Dimohon mengirim surat pemberitahuan, agar kami dapat membantu kelancaran selama berkunjung. Surat berisi rencana waktu kunjungan (hari, tanggal, jam), jumlah rombongan (termasuk pendamping/pemandu) dan kendaraan yang digunakan (berapa bis, mobil, dll)
b. Tersedia pemandu/petugas yang akan membantu selama kunjungan.

ü Info khusus Bidang Pemerintahan (non-kunjungan wisata)
a.   Surat dialamatkan ke alamat sekretariat
b.   Tindak lanjut akan dilakukan oleh Pengurus Yayasan

ü Info khusus studi banding / pengumpulan data (paper,skripsi, dll)
a.   Dimohon mengirim surat pemberitahuan, dapat dikirim via email
b.   Narasumber, studi pustaka, dll, dapat dilakukan dengan mengatur janji melalui email atau Petugas Sekretariat Vihara (sdr. Dharma).
c.   Kami akan membantu untuk mendapatkan kesempatan wawancara atau pengumpulan data sesuai tema tulisan. Adapun narasumber yang kompeten (Bhikkhu, Samanera, Pandita, Tokoh Umat Buddha atau Pengurus Yayasan), dapat kami bantu untuk jadwal pertemuannya setelah konfirmasi melalui sekretariat.


ü Info Peliputan Media (cetak/elektronik), dapat dilakukan sewaktu-waktu. Khusus peliputan berkaitan dengan wisata atau obyek bangunan vihara, dapat dibantu petugas pemandu kami setelah terlebih dahulu konfirmasi dengan petugas sekretariat vihara.

ü Khusus peliputan Media (cetak/elektronik) dengan narasumber yang kompeten (Bhikkhu, Samanera, Pandita, Tokoh Umat Buddha atau Pengurus Yayasan), dapat dilakukan setelah konfirmasi dengan petugas sekretariat vihara.

ü Khusus peliputan Media (cetak/elektronik)  berkaitan dengan kegiatan yang sedang atau akan berlangsung di Vihara, dapat konfirmasi melalui Panitia Penyelenggara setelah terlebih dahulu konfirmasi dengan petugas sekretariat vihara.

ü Tidak melayani permintaan imbalan atas liputan / wawancara yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

ü Kontak Person :
a.   Petugas Pemandu Wisata :
Bapak Edi Poen Kiat, no HP :  0888.025.6555.69 / 024-440008871
b.   Petugas Administrasi Sekretariat :
Bapak Dharma, no HP : 081.228.258.898 / 081.901.655.964

ü Himbauan :
Selama berkunjung di Komplek Vihara Buddhagaya Watugong, dimohon :
a.   Tidak merokok di area vihara, khususnya di dalam Dhammasala, Gedung Perpustakaan, Pagoda Avalokitesvara dan Pohon Bodhi.
b.   Berkenan melepaskan alas kaki saat masuk Dhammasala, Gedung Perpustakaan, Pagoda Avalokitesvara dan area Pohon Bodhi (pengecualian untuk pengunjung dengan alasan kesehatan)
c.   Menjaga barang bawaan sendiri. Segala kerusakan dan kehilangan barang, bukan tanggung jawab kami.

Selasa, 24 Mei 2011

PUJA BAKTI RUTIN

  • AMISA PUJA & PRADAKSINA
Setiap hari, Pukul 12.00 WIB
Adalah Puja bakti yang dilakukan oleh umat setiap hari dengan urutan prosesi pradaksina di pohon  Bodhi kemudian menuju Dhammasala. Puja ini dilakukan dengan mempersembahkan sarana puja seperti bunga, lilin dan dupa ke altar Sang Buddha yang ada di pohon Bodhi dan di dalam Dhammasala.
  • PUJA BAKTI MINGGU SORE
Setiap hari Minggu sore, Pukul 17.00 WIB
Adalah Puja bakti umum yang rutin dilaksanakan setiap hari minggu sore. Dengan urutan pembacaam Paritta, Meditasi dan Dhammadesana.