Minggu, 29 Mei 2011

JEJAK SEJARAH PERADABAN BUDDHIS NUSANTARA & PERAN VIHARA BUDDHAGAYA DALAM KEBANGKITAN KEMBALI BUDDHA DHAMMA DI INDONESIA

BUDDHA DHAMMA DI NUSANTARA

Nusantara Indonesia merupakan rangkaian lebih dari 13.000 pulau yang terletak sangat strategis di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik.

Dahulu kala, nusantara yang memiliki sumber daya alam terlengkap di dunia ini, telah mengadakan perhubungan dengan berbagai negeri tetangga. Salah satunya adalah hubungan dagang dan alih teknologi serta sastra budaya yang selaras dan seimbang dengan nafas hidup masyarakat nusantara.

Dengan semboyan “Mitreka Satata” yang berarti “Persahabatan dengan dasar saling menghormati” menempatkan nusantara diperhitungkan oleh konstelasi politik berbagai negeri di Asia Tenggara khususnya untuk dapat mengadakan kerjasama yang menguntungkan dengan para penguasa nusantara.

Pada saat itulah, Buddha Dhamma ikut mengukir sejarah perkembangan dan kejayaan nusantara dengan berdirinya Kedatuan Sriwijaya (700-1377 M) dan Keprabuan Majapahit (1293-1478 M). Satu hal yang patut dibanggakan dan dipetik pelajarannya, bahwa wilayah kekuasaan kedua kerajaan tersebut sama dengan kekuasaan Republik Indonesia sekarang. Bahkan dapat dikatakan lebih luas lagi bila kita mau memperhatikan dengan seksama satu persatu akar budaya masyarakat di sekitar Republik Indonesia seperti pada tata cara bahasa, budaya maupun kehidupan religiusnya.

Sumbangan nyata Buddha Dhamma dapat kita jumpai dari peninggalan bangunan candi yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Seperti Candi Mendut dan Candi Agung Borobudur yang sampai kini menjadi kebanggaan bangsa dan menjadi pusat studi berbagai kajian ilmu modern oleh para mahasiswa dan peneliti dari seluruh penjuru dunia.

Puncaknya, bangsa Indonesia menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi warisan nenek moyangnya yang memeluk Buddha Dhamma dengan menetapkan Sesanti “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua” yang berarti : walaupun berbeda namun tetap satu adanya, tidak ada agama yang mempunyai tujuan berbeda dan agama tersebut (Hindu, Buddha dan Siwa Buddha) hidup berdampingan secara damai dan dilindungi Negara. Sesanti itu termuat dalam Karangan Sutasoma karya Empu Tantular sebagai lambang Negara dan Pancasila Krama yang berarti “Lima Dasar Tingkah Laku” atau Panca Sila menjadi Dasar Negara, Pandangan hidup bangsa dan menjadi sumber dari segala sumber hukum Indonesia.

Namun sayang, sumbangsih peradaban Buddha Dhamma pada Nusantara harus berakhir karena ajaran luhur tersebut “harus tertidur pulas” seiring dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit di Tahun 1478 M. Dan praktis tidak ada lagi  Kegiatan ritual religius dan sosial kemasyarakatan bernuansa Buddhis selama beratus tahun kemudian.




SUMBANGSIH VIHARA BUDDHA GAYA WATUGONG PADA KEBANGKITAN KEMBALI BUDDHA DHAMMA DI NUSANTARA INDONESIA



Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan  Kerajaan Majapahit dan “tertidurnya” Buddha Dhamma di Nusantara, munculah berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk Nusantara akan warisan luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma. Agar dapat kembali dipraktekkan oleh para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

Usaha  yang semula banyak digagas melalui perkumpulan Theosofi di jaman penjajahan Belanda ini (1920-1930an) juga disebarluaskan melalui media cetak khusus yang membahas Buddha Dhamma yakni melalui Majalah Mustika Dharma yang dipimpin oleh Alm. Kwee Tek Hoay.

Harapan akan adanya orang yang mumpuni untuk mengajarkan Buddha Dhamma pada para umat dapat terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Thera dari Negeri Srilanka pada tahun 1934. Gayungpun bersambut. Kehadiran Dhammaduta berjubah kuning sesudah 500 tahun tertidurnya Buddha Dhamma di Nusantara tersebut dimanfaatkan umat dan simpatisan untuk mengembangkan diskusi dan memohon pembabaran Dhamma lebih luas lagi. Puncaknya, munculah putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh pada penyebaran Buddha Dhamma kembali, yakni Pemuda Bogor bernama Tee Boan An yang kemudian menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakhita yang ditahbiskan di Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon, Burma pada tanggal 23 Januari  1954.

Karena kepiawaian dan kepribadian Bhikkhu Ashin yang berwibawa dan bijaksana, pada tahun 1955 sesudah perayaan Waisak 2549 BE yang dipimpinnya di Candi Agung Borobudur, berkesan pada batin seorang dermawan dari kota Semarang, Goei Thwan Ling yang kemudian mempersembahkan tanah miliknya untuk digunakan sebagai pusat pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian diberi nama Vihara Buddha Gaya dan pada tanggal 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddha Gaya untuk menaungi aktivitas Vihara.

Dari Vihara inilah kemudian satu episode baru pengembangan Buddha Dhamma berlanjut. Mulai tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakhita, sang pelopor kebangkitan Buddha Dhamma di Nusantara, menetap di Vihara Buddha Gaya Semarang. Banyak sejarah besar beliau torehkan bersama Vihara Buddha Gaya. Seperti, pembentukan organisasi Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia saat Perayaan Asadha pada bulan Juli tahun 1955, membimbing latihan meditasi Vipassana pertama dari tanggal 2 sampai 11 Desember 1955, menggagas perayaan Buddha Jayanti yang diperingati oleh umat Buddha di seluruh dunia di tahun 1956, penanaman pohon Bodhi pada tanggal 24 Mei 1956 dan pendirian Sima Internasional pertama di Kasap (Belakang Makodam IV/Diponegoro sekarang-red) untuk penahbisan Bhikkhu baru yang dihadiri 14 orang Bhikkhu dari luar negeri pada Perayaan Waisak 2503 pada tanggal 21 Mei 1959.
 Sumber : 
Brosur Vihara Buddhagaya Watu Gong Semarang.
Penulis : Wahyudi Agus Riyanto, A.Md - Wakil Sekretaris Yayasan Buddhagaya Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar